Oleh : Rizka Nugrahani
Nampak matahari sudah ingin kembali menyinari belahan bumi lain. Langit yang berwarna kuning kemerahan dan sepoi angin hangat membuatku melangkahkan kaki keluar untuk menikmati indahnya pemandangan langit sore hari. Sambil memandangi bunga-bungaan di halaman rumahku tak sengaja kudengar suara orang yang sedang kebakaran jenggot disusul dengan bunyi bantingan gayung di pintu rumah tetangga depan. Aku sontak kaget melihat sesosok gadis berusia sekitar 13 tahun keluar dari rumah itu dengan muka sembab menuju kearah tempatku berada. Ah, seperti biasanya, pikirku.
“Sabar, Rum. Aku yakin pasti mereka melakukan ini karena mereka sangat peduli kepadamu. Dan kamu harus lebih dewasa. Selesaikan masalah dengan tidak memicu masalah lain.”
“Sebenarnya ini masalah sepele, Cik. Aku berusaha untuk jujur tapi malah ini yang aku dapat.” Suaranya berfusi dengan isak tangisnya membuatku agak sulit untuk mendengarkan.
“Aku tahu…Kamu boleh di sini sampai perasaanmu lebih baik. Sebentar…” kataku seraya meninggalkan Arum sendiri di kursi depan.
Aku kembali dengan dua cangkir cokelat panas dan sebungkus roti gandum, untukku dan tentu saja untuk Arum. Suguhan ini merupakan obat penawar hati paling ampuh yang sering kupakai disaat aku sedang dilanda masalah. Aku seorang yang cenderung mencari solusi dengan kepala dingin tanpa linangan air mata setetes pun. Dan memang manjur, ia lebih bisa mengontrol emosinya setelah menyantap suguhanku itu. Isak tangis darinya juga sedikit memudar.
Arum memang selalu diperlakukan seperti itu jika ibunya sedang dalam keadaan yang tidak stabil. Biasanya pemicu kemarahannya karena harta di kantongnya mulai menipis bahkan tak bersisa sama sekali. Saat itulah sebagai keluarga yang peduli kepada lingkungan sekitar, kami membantunya semampu kami karena bisa dibilang keadaan ekonomi kami juga pas- pasan. Ibunya tentu sangat senang dengan perlikaku kami sekeluarga. Saat- saat itulah Arum sekeluarga mulai memiliki sebuah ikatan antartetangga yang sangat baik dengan keluargaku.
Arum sering datang ke rumahku hanya sekedar mengobrol ria. Aku juga senang akan hal itu. Arum anak yang cukup cantik menurutku. Ia juga dapat mengerti perasaan orang yang lebih tua darinya. Tapi itu dulu. Sekarang Arum jarang sekali berkunjung karena kesibukanku juga, kupikir. Setiap kulihat ia duduk di depan rumahnya, ia tampak murung. Mungkin karena ia sedikit terganggu dengan keberadaan bapak baru yang memasuki kehidupannya 3 tahun yang lampau.
Ia mulai tampak frustasi. Tingkah lakunya mulai berubah ketika ia duduk di bangku SMP. Pergaulannya tidak terkontrol. Mungkin itu yang membuat bapaknya sedikit protektif terhadapnya. Apalagi setelah kelahiran Tama, perhatian kedua orang tuanya itu perlahan-lahan hilang karena terbagi dengan adik barunya. Arum lebih senang jika ia berada di sekolah dibanding di rumah.
Setidaknya bapak barunya pernah cerita hal yang sebenarnya kepada ayahku dan tidak sengaja aku mendengar pembicaraan itu.
“Arum sekarang tidak mau belajar kalau di rumah. Kalau saya suruh belajar pasti membangkang dengan sejuta alasan. Tapi jika saya gertak sedikit pasti ia mengadu pada ibunya. Ibunya sekarang juga lebih percaya padanya dari pada dengan saya, Pak. Hanya mungkin karena saya kehilangan pekerjaan dan tidak mampu menafkahi mereka.”
“Kalau ibunya sendiri masih kerja?”
“Masih. Ia masih kerja di percetakan. Bayarannya juga tidak banyak, sekitar tiga ratus ribu rupiah setiap bulannya. Ia sekarang juga melarang saya berkunjung ke tempat Bapak karena ia tahu bapak sedang diberi cobaan oleh Allah dan ia takut kalau keluarga kami terkena imbasnya. Jadi mohon maaf apabila sekarang kita jarang mengobrol bertukar pikiran seperti saat ini.”
“Hmm, aku memaklumi. Aku memang seorang pengangguran sekarang. Mungkin istrimu tidak ingin kamu bergaul dengan orang tak berpenghasilan sepertiku ini.”
“Mohon tolong maafkan saya, Pak. Saya tidak bermaksud…”
Setelah mendengar cerita dari bapak Arum itu aku sedikit merasa ragu untuk berbuat baik pada keluarga Arum karena tahu persis perbuatan ibunya yang sangat mengena di hati.
Di tahun kedua di SMP, perilaku Arum semakin memprihatinkan. Ia berhias saat ke sekolah, rambutnya di cat blue black . Benar- benar diluar kendali. Aku yang sudah duduk di bangku SMA kelas 3 saja tidak suka berhias jika ke sekolah. Sungguh. Aku juga pernah mendapatinya sedang menerima telepon dari seorang laki- laki di depan pagar rumahnya sekitar pukul 22.00 WIB. Dapat dipastikan ia sedang menghindari amukan orang tuanya dan menjaga kerahasiaanya. Aku lihat ia sangat senang menerima telepon itu. Dimasa puber ia pasti sangatlah senang jika mendapat perhatian dari seorang laki- laki, sama sepertiku.
Aku khawatir padanya. Cara ia bergaul membuatku merinding. Susah digambarkan dengan untaian kata. Aku khawatir jika ia sudah berani mengonsumsi obat- obatan. Aku benar- benar khawatir. Dan untuk meredamnya aku berhenti untuk mempedulikannya. Aku hanya fokus pada sekolahku. Saat tidak sengaja aku melihat Arum pergi keluar rumah bersama teman- temannya dengan pakaian yang tidak pantas untuk seumurannya aku alihkan pandanganku kembali ke buku pelajaranku.
Suatu hari aku mendengar kabar yang tidak mengenakkan dari mulut- mulut tetangga tentang si Arum ini.
“Arum sudah dua hari tidak pulang ke rumah. Ke mana dia? Kabarnya HPnya juga tidak bisa dihubungi.”
“Benarkah seperti itu? Ke mana kamu Arum?” kataku pelan.
“Ibu mau mengantar ibunya Arum dulu ya, Dik. Ke kantor polisi untuk lapor.”
“Sebegitu seriuskah?”
Empat hari berlalu. Arum belum juga pulang ke rumah. Aku juga kebingungan. Ingin membantu tapi tidak tahu caranya. Aku pasrah saja dengan Allah dan aparat kepolisian. Bapaknya tiba- tiba datang ke rumahku dan sepertinya ingin mencurahkan hati.
“Beberapa hari yang lalu saya memergoki Arum sedang SMSan dengan seseorang yang tidak saya kenal sampai tengah malam. Sampai jam satu pagi. Saya hendak memeringatkannya tapi tiba- tiba ibunya datang dan menuduhku ingin menggeremet Arum. Pembelaan itu mungkin membuatnya besar kepala. Dan sampai saat ini kehilangannya selalu menjadi kesalahanku di mata sang ibu. Saya bingung mencarinya. HPnya saja tidak aktif.”
Spontan kukeluarkan HP ku dari saku dan segera mencoba mengirimkan pesan kepada Arum. Terkirim! Aku terkejut karena pesanku terkirim yang menandakan HPnya masih aktif. Segera kutelepon dia tapi mendadak nonaktif lagi.
Ada salah seorang temannya tahu kalau Arum pergi bersama dua orang pria saat Arum menolaknya mentah- mentah untuk pulang bersama. Dua orang tadi adalah pengamen di salah satu pasar di kotaku, Semarang. Ia juga berkata bahwa Arum pernah mengiriminya pesan bahwa ia sedang berada di Pekalongan. Lalu hari berikutnya ia berada di Solo. Tapi sekarang entah di mana posisinya. Kabar kehilangannya sudah muncul di sebuah TV lokal Semarang. Aku berharap aparat mengetahui keberadaannya.
Sudah genap seminggu Arum menghilang. Akupun juga tidak terlalu ambil pusing kepergiannya karena sudah ada polisi yang bertindak. Ku percayakan saja pada mereka. Saat hendak memakai sepatu sekolah, aku melihat Arum kembali ke rumahnya masih memakai seragam sekolahnya terakhir kali meninggalkan rumah. Rasa tak percaya memenuhi batinku. Ingin kuhampiri namun masih terpikir olehku mata pelajaran hari itu.
“Syukur alhamdullillah !”
“Iya, Dik. Nanti sepulang sekolah kamu boleh menjenguknya tapi jangan bertanya yang aneh- aneh dulu.”
Ibuku mengantarku ke sekolah. Aku masih tidak percaya akan kejadian hari itu. Apa yang membuatnya mau kembali sedangkan ia selalu diperlakukan setengah hati? etapi semoga kembalinya Arum di rumah mendapat sambutan baik dari keluarganya.
“Lakukan apa yang ingin kamu lakukan asalkan semuanya bertuju pada kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain.”